Sunday, 6 May 2012

Tentang pejalan kaki: "Masihkah Ada Ruang untuk Pejalan Kaki"



Salah satu diskusi yang paling  utama di bidang transportasi dan sustainability serta teknik jalan (road engineerring) kini adalah apakah lingkungan jalan, di mana orang berjalan dan beraktivitas, telah memenuhi kebutuhan pejalan kaki sebagai manusia. 

Di Eropa, misalnya, dikenal Charter of Pederstrian Rights 1988, sebuah Piagam tentang Hak-hak Pejalan Kaki. Artikel kedua charter ini menyatakan: ‘’Pejalan kaki memiliki hak untuk hidup di pusat-pusat perkotaan ataupun pedesaan yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, bukan untuk kebutuhan kendaraan bermotor dan memiliki fasilitas untuk berjalan atau bersepeda’’.  Keberadaan charter ini menunjukkan, pembangunan transportasi dan infrastruktur jalan harus selalu menempatkan kebutuhan pejalan kaki sebagai prioritas utama. 

Di Indonesia, permasalahan pejalan kaki ditegaskan, salah satunya, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 25 (1) yang menyatakan: “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat”. 
Sayang, meski wajib, fasilitas ini hanya dikategorikan perlengkapan jalan, bukan sebagai jalan itu sendiri atau fasilitas utama.

Moda Transpor yang Terlupakan
Berjalan kaki adalah tipikal moda transpor yang terabaikan dalam sistem transportasi dan teknik jalan. Hampir semua orang cenderung menerima kenyataan bahwa jalan dan sarana prasarana yang ada diperuntukkan bagi kendaraan bermotor. Termasuk standar, ketentuan dan peraturan, sebagian besar dibuat untuk mengakomodasi  permasalahan lalu lintas kendaraan bermotor. Penelitian Institute for Transport Studies University of Leeds, Inggris (2010) menyatakan: “Walking is typically the forgotten mode and consequently low standard walking environments are everywhere”. 

Tak heran bila lingkungan jalan bagi pejalan kaki kini sangat buruk, tak dapat dinikmati dan membahayakan keselamatan. Misalnya, ketidaktersediaan trotoar telah memaksa pejalan kaki berjalan di badan jalan dan berkompetisi dengan kenderaan bermotor yang superior. Fasilitas penyeberangan yang sangat minim memaksa pejalan kaki menyeberang pada sembarang tempat dengan hanya mengandalkan kehati-hatian, tanpa perlindungan dan kepastian hak menyeberang. 

Keadaan pejalan kaki makin diperburuk oleh volume lalu lintas yang padat, kebisingan akibat deru mesin dan produksi asap knalpot yang mengandung carbon (CO dan CO2). Tanpa disadari semua ini harus dialami oleh pejalan kaki. Maka, di daerah tropis yang bersuhu 30-35 derajat Celcius, seperti Pekanbaru, dengan kondisi lingkungan jalan yang  tak ‘ramah’ dan legal position yang sangat lemah, rasanya mustahil membujuk orang berjalan kaki. 

Hampir tak mungkin menikmati jalan raya yang ada sekarang dengan berjalan kaki. Satu-satunya cara untuk menikmati berjalan kaki adalah pergi keluar kota atau ke daerah yang sepi dan berpemandangan indah yang tak dilalui kendaraan bermotor. 

Dalam banyak literatur aesthetics, kenyamanan dan keselamatan muncul sebagai faktor paling penting dalam transportasi dan pejalan kaki. Para peneliti Transportasi seperti May (1976), Handy dkk. (2002) dan Kelly (2004) menyimpulkan,  persepsi pengguna jalan terhadap lingkungan pejalan kaki dipengaruhi daya tarik dan variasi kegiatan di sepanjang jalan. Faktor estetika seperti lanskap, bunga-bunga dan pepohonan, peneduh, desain gedung (termasuk warna dan arsitekturnya), kepadatan arus lalu lintas dan faktor keselamatan berkorelasi positif terhadap jumlah pejalan kaki dan panjang jarak yang ditempuh.

Meski semua orang sepakat jalan dan lalu lintasnya merupakan urat nadi kehidupan, pemerintah cenderung berinvestasi terbatas terhadap lingkungan jalan pejalan kaki. Konsentrasi perencanaan transportasi dan teknik jalan sebagian besar diarahkan pada lalu lintas kenderaan bermotor. Akibatnya, berbagai masalah terus menerus muncul dan harus dihadapi para pejalan kaki. Lebih dari 80 persen pengguna jalan menyatakan tak suka dan tak menikmati suasana jalan (Sinnet, 2011). 

Dampak lainnya, daerah pinggiran kota dan masyarakatnya mengalami tekanan besar sebagai konsekuensi pembangunan infrastruktur perkotaan yang tak ramah bagi manusia dan lingkungan. Sebagian besar orang sangat tergantung pada atau terpaksa memiliki kendaraan bermotor (pribadi) agar dapat beraktivitas. Semangat sosial terkikis habis karena dibiasakan egoisme di jalan raya. Dalam bekerja sehari-hari, kreatifitas terus menurun karena kelelahan. Pada akhirnya turut merendahkan kualitas kehidupan secara menyeluruh.

Beruntunglah akhir-akhir ini, berbagai usaha terus dilakukan untuk menggiatkan kembali motivasi pengguna jalan untuk beralih berjalan kaki. Para pemangku kepentingan yang memiliki keterkaitan dengan keselamatan lalu lintas, transportasi dan teknik jalan sepertinya telah menyadari kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu dengan memprioritaskan kendaraan bermotor dan cenderung mengabaikan pejalan kaki dalam rancangan sistem transportasi dan teknik jalan.

Keselamatan Pejalan Kaki dan Estetika Lingkungan Jalan
Atribut-atribut yang mempengaruhi keputusan orang untuk berjalan kaki antara lain: (1) rute pejalan kaki harus menghubungkan langsung antara titik asal dan titik tujuan, (2) jaringan jalan bagi pejalan kaki tersedia ke seluruh tujuan, (3) keselamatan dan keamanan pejalan harus dapat dirasakan pejalan kaki, (4) kualitas estetika lingkungan jalan yang baik dan nyaman. Bebas dari polusi asap knalpot, debu, graffiti, tempelan-tempelan pamflet, sampah dan bau tak sedap serta benda-benda atau situasi lain yang mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas lingkungan jalan. 

Atribut ini mengesampingkan jarak tempuh antara lokasi asal dan lokasi tujuan dengan asumsi bahwa lokasi yang terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, akan ditempuh dengan angkutan umum. Perjalanan selama 20 menit berjalan kaki akan terasa panjang dan melelahkan bila jalan yang dilalui memiliki kualitas lingkungan jalan yang sangat buruk. Sebaliknya, jarak yang cukup jauh akan terasa menyenangkan bila rute yang dilewati diperkaya kualitas lingkungan yang baik. 

Berbagai referensi dan contoh dapat dipelajari untuk memperbaiki kondisi lingkungan pejalan kaki kini. Di Singapura, jembatan penyeberangan khusus pejalan kaki yang menghubungkan Marina Centre dan Marina South. Jembatan ini disebut “World’s First Double Helix Pedestrian Bridge” dibangun bagi khusus pejalan kaki sepanjang 280 meter. Jembatan yang bentuknya terinspirasi susunan DNA manusia ini jadi penutup dari 3,5 Km jalur pejalan kaki di sekitar Marina Bay. 
Di Nottingham, Inggris, kawasan Maid Marian Way yang terkenal sebagai “Britain Worst Street” telah diubah dengan investasi pada bidang infrastruktur pejalan kaki. Investasi ini selanjutnya diikuti peningkatan kentara jumlah pejalan kaki dan aktivitas ekonomi.

Beberapa hal penting yang dilakukan pada jalur pejalan kaki adalah: (1) penataan bangunan sepanjang rute. Bangunan yang terawat dan bernilai arsitektur tinggi serta serasi dengan lingkungan sekitarnya akan menarik minat orang jalan kaki, (2) keberadaan bunga-bunga dan pepohonan yang jadi peneduh dan penyejuk serta daya tarik alami bagi pejalan kaki, (3) ketersediaan fasilitas penunjang bagi pejalan kaki seperti tempat duduk, shelter, halte angkutan umum, rambu (khusus pejalan kaki) dan toilet, (4) jenis aktivfitas dan atraksi di sepanjang rute pejalan kaki, misalnya keberadaan tempat bersua, panggung dan tempat bermain anak-anak dan remaja, (5) manajemen lalu lintas dan area lokal yang menunjang aktivitas pejalan kaki. Rute yang terbebas dari polusi udara, suara dan bau serta berkualitas keselamatan yang tinggi.***

Aswin A  Siregar SIK, MSc (Eng), Analis Kebijakan Pertama Ditlantas Polda Riau (2011), Kepala Subbag Audit, Bagian Keamanan dan Keselamatan Korps Lalu Lintas Mabes Polri.

Wednesday, 23 November 2011

The Deterrence: Strategi Penjeraan Dalam Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas

Hubungan antara ketegasan tindakan kepolisian dan pelanggaran hukum diterangkan oleh deterrence theory (teori kejeraan). Pendukung teori ini menyatakan bahwa tingkat perkembangan suatu jenis kejahatan berbanding terbalik dengan kecepatan, kepastian, dan berat ringannya penghukuman atas kejahatan tersebut. Disini hukuman tidak hanya mencakup hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dalam sidang pengadilan (substantial punishment), tetapi juga keseluruhan proses penegakan hukum sebelum keputusan pengadilan yang menimbulkan beban bagi tersangka atau terdakwa (prosedural punishment) (Gibbs 1975:101)[1]. Sebagai contoh, keputusan yang diambil oleh seorang Polisi lalu lintas untuk mewajibkan hadir di sidang pengadilan setiap Tersangka yang melakukan pelanggaran “menerobos lampu Merah, “tidak menggunakan helm”, dan “tidak menggunakan sabuk pengaman” dapat dipandang sebagai penghukuman prosedur.
Model-model penjeraan telah menjadi basis bagi program keselamatan lalu lintas dalam tahun-tahun terakhir ini. Penekanannya bukan terhadap penangkapan pelanggar tetapi membuat orang takut untuk melakukan atau melakukan kembali.
Pendekatan ini tidak begitu populer di lingkungan operasional kepolisian karena secara tradisional tugas polisi adalah menangkap orang-orang jahat tetapi bukan untuk membuat takut para pelaku, tetapi perubahan etos kerja kepada pendekatan penjeraan ini baru mulai populer di beberapa organisasi kepolisian. Kekuatan dari efek jera dipengaruhi oleh persepsi para pengguna jalan atas situasi yang berkaitan dengan ancaman hukum yang ditegaskan dalam konteks membuat orang takut akan konsekuensi dan takut atas tindakan.

Di negara-negara maju, penegakan hukum lalu lintas telah menjadi bidang yang dilaksanakan oleh petugas-petugas khusus yang sangat terlatih yang tugasnya adalah semata-mata mencegah kecelakaan di jalan dan memelihara arus lalu lintas yang lancar dan tertib. Tetapi di Indonesia sebagaian  besar polisi lalu lintasnya belum terlatih  dan tidak dilengkapi dengan peralatan dan perencanaan yang matang.
Penegakan hukum dapat terlaksana secara baik dan efisien jika dilengkapi dengan peralatan dan kendaraan modern yang memadai. Jika di jalan yang ditunggui polisi saja ditemukan kecelakaan sebanyak yang diutarakan sebelumnya, di jalan yang tidak ditunggui polisi tentu akan dapat ditemukan kecelakaan yang lebih banyak lagi.


[1] Farouk Muhammad, op.cit., hlm. 46

Targeting Accident Remedial Measures


Total number of accident and casualties, especially killed and serious injury show how severe safety problems in our road. Nearly 3000 people still die on the UK road every year (DfT, 2009). More than 34.000 people are killed across the European Countries and almost 40.000 in the US while India become the highest number of road accidents in the world with over 105.000 deaths annually. UN WHO recent released shows 1.2 million death, 50 million injury or disabled and US$ 518 billion every year across the globe because of traffic accident. It means almost 3.300 people lost their live every day. Road accident is second most common cause of death for children and young adults (WHO, 2010)[1].

However these figures only explain the frequency of accident and death. It is important to understand the factors behind these figures and find the pattern and the trend. To analyze this, an exposure will be needed. Comparing the frequency to the exposures will offer the possibility to calculate the risk and future projection. For example, UK accident fatality rate is about 5.00 per 100.000 populations in 2007 which mean only five people are died on the road accident from 100.000 populations. This rate was one among the best in European countries. Another example is comparison of vehicle involvement in accident, which shows Heavy Goods Vehicle (HGV) has 1.6 and Car, has 0.8 rates per 100 million vehicle kilometres traveled. It means HGV would have killed people twice in 100.000 kilometres traveled by these vehicles.
There has been a long argument to both approaches, Number versus Rates. Number is considered to give very detail examination of each accident and the frequency of it on the sites, while Rates provide a better accident related risk assessment. Rates bring in a notion of risk, the risk of something going wrong against the units of exposures.
Figure 1: Use of Data for Road Safety Improvement (UN WHO)

General Practice of using Number of Accident and Casualties

Since 1998, EU Commission on Road Safety has tried to provide the Road Safety trend by using ‘quick indicator’ which consist of three main categories: number of accident resulting in injury, number of persons killed and number of person injured. Data is provided in country-to-country basis which classified in age, gender, month and year, mode of transport and road users. The main idea of this database is the collection of each single accident and it’s detailed as reported from country member (CARE, 2010)[2]. This database has become a powerful tool of analysis by quantifying road accident throughout the European road. Graph below shows the road accident fatalities trends of EU countries over 20 years:


Furthermore, many local authorities in UK have used accident number and casualties in their accident assessment. Leicestershire County Council, for example, counts the number and the severity of accidents from 2001 to 2006 in selected junctions. Accident that has been taken place in the proximity of assessed scene have been identified and highlighted as a black spot[3]. It has been figured out in the assessment that M1 Junction 21 has the highest number of accidents with annual average of 27 accidents while the average all studied scenes is 24 accidents. Therefore, this junction have been upgraded and expected to reduce numbers of accidents and KSI casualties.

Accident Risk Assessment by Accident, Fatalities and Injury Rates

Rates are comparison of accident frequency against chosen exposures. There are many choice of measures have been used for different objectives by different groups. Health sector, for example, mostly apply fatalities per 100.000 populations, while transport sector use fatalities per distance traveled or fatalities per million vehicle‐kilometers as a major measure. Rumar (1999) suggest several indicators to be operated as exposures, such as: number of persons or vehicles, time in the activity, distance traveled with that transport mode etc is some of the more frequently used measures.

Mode
Per 100 million person kilometers
Per 100 million person hours
Road
Total
1.1
33
Bus
0.08
2
Car
0.8
30
Foot
7.5
30
Cycle
6.3
90
Motorcycle/moped
16
500
Train
0.04
2
Ferry
0.33
10.5
Air
0.08
36.5

Table 1: Estimates of fatality risks per person kilometers and hours for each transport mode in the EU
Target is easier to monitor against rates and relatively straightforward in comparison, as presented in table 1 where we could instantly figure out that motorcycle is the highest risk of transport mode.

UK Practice of assessing Accident and targeting accident Measures

Department for Transport in 2009, released a document called “Safer Way” which comprehensively explain four main categories of safety improvement across UK Road, they are:

1. Details overview of safety problems and evidence
2. The Importance of comparison and benchmarking
3. Future Projection and setting up the target
4. The Strategy to improve the safety


This document uses both measures, for example, in the evidence and problem acknowledgement, it is stated that 3000 people were killed in UK road in 2007 and about 20% of these casualties are motorcyclist. However, if it is compared 1994 – 1998 data, total fatal casualty has reduced by 36% and possibly to achieve 40% of reduction by 2010.
Based on this evidence, UK DfT has proposed the new target on measuring and ensuring the development of safety across the country, that are by 2020, total number of road death and total annual serious injury should be reduced by 33% compared to 2004-2008 baseline.
Although UK is one among the best on Road Safety, some countries have better safety performance by comparison of fatality rate per 100.000 populations. These countries, such as Nederland and Norway, have achieved rates of improvement better than UK



Figure 3: International Comparison of Fatality Rate per 100.000 Populations

Conclusion

A lot of groups are involved in accident data collection, analysis and setting up targets for better road safety development. Different needs and objectives have lead to various approach of road crash data. Safety improvement might be derived from accident database analysis and careful assessment of accident site followed by appropriate accident remedial measures (ADB, 2005). Comparison and benchmarking are important to have a better understanding on safety strategy and improvement. There is no international standard on assessing road safety performance and setting up the target yet, as UK exercised of mix matrices might provide more comprehensive approach. Then, a better use of data could lead to ambitious but achievable target.


[1] Global Health Observatory (GHO), available at http://www.who.int/violence_injury_prevention/road_safety_status/country_profiles/ accessed 12 May 2011 

[2] CARE European Road Accident Database, available at European Commission on Road Safety, http://ec.europa.eu/transport/road_safety/specialist/statistics/care_reports_graphics/care_what_is_it/index_en.htm, accessed 12 May 2011
[3] Leicestershire County Council, 2010, Accident Assessment Methodology, available at www.leics.gov.uk/downloaddatabasefile
Rumar, Kare (1999) Transport Safety Visions, Targets And Strategies: Beyond 2000, Swedish Road and Transport Research Institute
World Health Organization (2010) Data systems: A road safety manual for decision-makers and practitioners, WHO Press, Switzerland

Tuesday, 22 November 2011

Indonesia by Van Mook (1944)


INDONESIA (1944)

H. J. VAN MOOK

Jendral Kruger 1944
THE Dutch in the last three years of the history of Indonesia have frequently been presented as the villain of the play, and I find myself more or less on the defensive when discuss the subject. Much of the adverse criticism as not always been impartial, and facts have often been garbled and obscured by inaccurate comparisons. On the Dutch side, we have made many mistakes; will not go into the question which of them were made by the politicians at home and which by the people in the field. We very often acted with a deplorable lack of artistry. do not think, however, that we deserve the role of the colonial aggressor in which we have sometimes been cast at Lake Success. On The contrary, would rather maintain the opinion that fundamentally the Dutch Policy has been justified and will be justified by events.

Some Features of the Indonesian problem should be recalled. Not with Standing all the troubles we have had, all the obstacles we had to overcome, and all the mistakes we have made, do not think that the civilian casualties in Indonesia mounted o more than one-tenth of the civilian casualties in Kashmir; and I know that the military casualties in Indonesia were under ten percent of the military casualties in Indo-China, With comparable military force

What's Wrong with Indonesia's Democratisation?


What's Wrong with Indonesia's Democratisation?

Indonesia's democratization is not making much sense even to its major potential pro-democratic force the people at large as a way of promoting ideas and solving conflicts. There Is an urgent need for a third path between determinism and idealism, that aims at substantial democratization not in terms of good outcome or all but the promotion of citizen's actual capacity to make use of and further improve civil and democratic rights and institutions

Monday, 21 November 2011

Police and Military in the Resolution of Ethnic Conflict


Police and Military in the Resolution of Ethnic Conflict

BY: CYNTHIA H. ENLOE
ABSTRACT:

Militaries and police forces are rarely neutral actors in ethnic conflicts.They are typically ethnically imbalanced as a result both of historical socio economic maldistributions of opportunities and of deliberate recruitment strategies pursued by central government elite. The modernisation and professionalization of security forces is no guarantee of their communal or political neutrality. Lasting resolution of inter-ethnic and ethnic-state conflicts require a reorganisation of police and military thorough enough so that vulnerable communities' security is substantially enhanced. 

Cynthia H. Enloe is Associate Professor of Government at Clark University. She received her doctoral degree in Political Science at University of California, Berkeley. She has conducted research in Malaysia, Guyana, and Britain concerning the evolution of ethnic politics. Currently she is Chairman of the Social Science Research Council's Committee on Ethnicity. Among her books are Ethnic Conflict and Political Development (1973), Politics of Pollution in a Comparative Perspective (1975), and Ethnic Soldiers: A Cross National Study of Militaries and Communalism (forthcoming).

Read more

Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di Kota Medan (Abstrak)



Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penindakan pelanggaran lalu lintas dan pencegahan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Selanjutnya, dengan dilandasi oleh konsep tentang Pemolisian berorientasi pencapaian sasaran (Policing By Objectives yang disingkat PBO) dari V. A. Luban dan J. M. Edgar, penulis mencoba menganalisis proses pelaksanaan penindakan pelanggaran lalu lintas dalam konteks manajemen berorientasi pencapaian sasaran.
Masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Satlantas Poltabes Medan dapat mencegah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia ditinjau dari konsep PBO dan efek penjeraan yang ditimbulkannya (deterrence). Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan selama lebih kurang 35 hari terhitung mulai tanggal 15 Januari 2006. Peneliti  menggunakan pendekatan kualitatif.

Untuk memperoleh data-data, Peneliti melakukan wawancara terhadap sumber-sumber informasi. Wawancara dilakukan secara terstruktur dan mendalam. Peneliti juga melakukan pengamatan di lapangan dan mempelajari dokumen-dokumen terkait dengan permasalahan penelitian

Temuan peneliti adalah saat ini kota Medan mengalami permasalahan lalu lintas yang serius dimana tingkat kecelakaan dan tingkat kematian menunjukkan angka yang sangat tinggi. Pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas berawal dari perilaku mengemudi. Sikap pengemudi yang tidak concern terhadap keselamatan dirinya dan pengguna jalan lain membawa resiko tinggi. Meskipun penindakan pelanggaran terus menerus dilakukan oleh Satlantas Poltabes Medan, tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Konsep manajemen yang melandasi pelaksanaan tugas pokok Satlantas tidak melalui tahap-tahap manajemen yang baik. Konsep PBO yang sejalan dengan Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, belum secara utuh diterapkan. Visi dan Misi sebagai pedoman dalam penyusunan program, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran, serta Progiat dan Rengiat masih merupakan daftar formal yang belum terimplementasi di lapangan. Pelaksanaan tugas anggota di lapangan berjalan tanpa sasaran yang jelas sehingga efek jera yang diharapkan muncul dari pelaksanaan penindakan tidak dirasakan oleh para pengguna jalan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, saran diberikan kepada Satuan Lalu Lintas Poltabes Medan untuk mulai menerapkan konsep PBO dengan terlebih dahulu memahami Management by Objectives agar permasalahan lalu lintas dapat ditangani dengan baik dan terwujudnya akuntabilitas publik.